trauma pelvis

BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum terjadi akibat fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30 % pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah akibat trauma pelvis.1 Pasien yang mengalami cedera pelvis berkelanjutan terbagi dalam dua kategori utama, korban selamat dan tidak selamat. Pada korban yang tidak selamat, kematian terjadi. Awal kematian umumnya karena perdarahan atau cedera otak yang terkait. Kematian lanjut biasanya karena sepsis dan kegagalan multiorgan. Korban sering mengalami implikasi jangka medis dan sosial ekonomi akibat patah tulang panggul. Ini termasuk masalah kesehatan mental, sakit kronis, arah panggul yang miring, perbedaan panjang kaki atau rotasi, kelainan gaya berjalan, seksual dan disfungsi urologis dan pengangguran jangka panjang.2 Sebuah panggul yang stabil dapat menahan gaya normal fisiologis vertikal dan rotasi, tetapi baik patah tulang atau cedera ligamen dapat mengganggu stabilitas pelvis. Gangguan ligamen panggul menciptakan ketidakstabilan rotasi anterior, sedangkan cedera ligamen posterior menciptakan baik dan vertikal ketidakstabilan rotasi.3 Trauma pada pelvis terjadi sekitar 44% kasus. Trauma ini merupakan akibat dari tabrakan pada salah satu sisi tubuh, yang disebabkan karena mobil ataupun jalan, fraktur tidak selalu timbul karena hal tersebut.4 Banyak fraktur minor yang terjadi pada simphisis pubis atau yang terjadi pada ramus superior dan inferior. Fraktur lain dapat menjadi luas dan menggangu sendi sacro-iliaca. Trauma pelvis yang lebih berat terkait dengan perdarahan yang luas di pelvis dan jaringan retroperitoneal dan dapat berakibat fatal untuk korban, khususnya korban yang lanjut usia.5

Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan perawatan krisis telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan hidup. Pengikat pelvis secara luas telah menggantikan celana anti-syok militer (military antishock trousers). Ketersediaan dan ketelitian intervensi angiografi telah dikembangkan secara luas. Fiksasi pelvis eksternal dapat diterapkan dengan cepat, seringkali mengurangi volume pelvis, dan memberikan stabilisasi fraktur sementara. Balutan pelvis, dipopulerkan di Eropa, saat ini digunakan pada pusat-pusat tertentu di Amerika Utara. Penggunaan algoritma pengobatan yang telah dibakukan mungkin memperbaiki pengambilan keputusan dan angka ketahanan hidup pasien. Keterlibatan aktif seorang ahli bedah ortopedi yang berpengalaman penting dalam evaluasi dan perawatan pasien-pasien yang terluka secara serius.6



















BAB II

2.1 KONSEP UMUM TRAUMA
Trauma atau perlukaan adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan. Dari aspek medikolegal, pengertian ini sedikit berbeda, yaitu pengetahuan tentang alat dan benda yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada seseorang. 7
Respons Metabolik pada Trauma
Respons metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah teejadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi kembalinya voluma sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia.8
Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh dengan imbang nitrogen yang negatif, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini terjadi setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik, dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolingan medisnya. 8
Pada fase ketiga terjadi anabolisme, yaitu penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secara keseluruhan sudah teratasi. Fase ini merupakan proses yang lama, tetapi karena sintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr/hari. 8
Akibat trauma, aktivitas hipotalamus dipacu sehingga terjadi rangsangan neuroendokrin. Sekresi neurohumoral yang meningkat menyebabkan lipolisis perifer yang menyebabkan naiknya glukosa, asam amino, dan limbah metabolisme berupa asam laktat dalam plasma. Hati bereaksi dengan meningkatkan produksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis yang dirangsang oleh kortisol dan glukagon. Produksi glukosa meningkat, sementara itu penggunaannya oleh jaringan perifer menurun sehingga terjadi intoleransi glukosa akibat trauma. Ginjal bereaksi dengan menahan air dan kalium karena kerja hormon antidiuretik dan aldosteron. Ekskresi nitrogen naik menjadi 15-20 gr/hari pada trauma berat; ini sama dengan kehilangan massa tubuh tanpa lemak (lean body mass), terutama otot sebanyak 750 gr/hari seperti yang terjadi pada keadaan kelaparan. 8
Hilangnya nyeri hasil pemberian analgesik dan imobilisasi bagian tubuh yang cedera dapat mengurangi intensitas rangsangan neurohumoral, dan dengan demikian menghambat hilangnya jaringan otot. Akan tetapi tanpa bantuan nutrisi, seorang pasien dengan trauma berat hanya akan bertahan beberapa minggu, meskipun diberikan analgesik secukupnya dan dilakukan imobilisasi. 8
Jika keadaan pascatrauma berat disertai sepsis akan terjadi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme dengan penggunaaan energi dan nitrogen ynag tidak efisien. Penderita tanpa sepsis atau stres berlebihan memanfaatkan protein dan kalori dengan efisien. Pada penderita ini harus dilakukan pemantauan kebutuhan air, kalori, protein/nitrogen, elektrolit, dan vitamin setiap hari. Dalam keadaan pascatrauma berat, dibutuhkan kalori sebanyak 2000-3000 kalori dan 1,5 gr protein/kgBB/24 jam. Kalori yang diberikan terdiri atas 60% karbohidrat dan 40% lemak. Bila terjadi penyulit sepsis, kebutuhan kalori menjadi sekurang-kurangnya 2500 kalorii dengan 2 gr protein/kgBB/24 jam. Protein diberikan lebih banyak selama ureum tidak naik. 8
Kegagalan Fungsi Membran Sel
Pada penderita trauma berat terjadi dilatasi arteriol dan sfingter prakapiler, sedangkan sfingter pascakapiler tetap berkonstriksi sehingga tekanan hidrostatik kapiler meningkat. Air, kalium, dan klorida berpindah dari intravaskular ke rongga interstisial. Proses ini terbatas karena meningkatnya tekanan osmotik akibat keluarnya cairan akan menghambat kehilangan cairan lebih lanjut. Selain itu juga, terjadi gangguan fungsi membran sel. Air, kalium, dan klorida bergeser dari rongga ekstrasel ke dalam sel meskipun kadar glukosa ekstrasel tinggi. Kegagalan membran sel ini mengakibatkan kehilangan sekitar 2 liter cairan interstisial. 8
Kejadian ini sangat buruk karena akan menurunkan tekanan hidrostatik interstisial yang dalam keadaan normal mendorong protein interstisial kembali ke rongga vaskular. Dengan demikian, kegagalan membran sel dapat menghilangkan mekanisme yang mengembalikan volume cairan intravaskular. Akibatnya penderita akan mengalami hipovolemia bahkan mungkin sampai syok.8
Gangguan Integritas Endotel Pembuluh Darah
Trauma dan sepsis mengakibatkan terjadinya koagulasi dan inflamasi yang dapat mengganggu keutuhan endotel pembuluh darah. Mikroagregasi trombosit dan leukosit di pembuluh darah pasa jaringan yang luka atau terinfeksi dapat menjadi emboli dalam paru atau menyumbat pembuluh darah kapiler. Gumpalan agregat tersebut melepaskan bermacam zat toksik yang merusak endotel dan menyebabkan vasodilatasi di daerah emboli paru dengan akibat terjadi ekstravasasi air, kalium, klorida, dan protein ke dalam rongga interstisial. Edema paru ini menimbulkan gangguan pernapasan. 8
Kelainan Sistem Imunologi
Menurunnya daya tahan tubuh serng terjadi pada penderita trauma, sepsis, malnutrisi, dan usia lanjut. Pemeriksaan imunologis yang sering dilakukan adalah hitung jumlah leukosit dan penentuan imunitas seluler. Jumlah limfosit di bawah 100 x 109 /L darah menunjukkan terdapatnya pemusnahan yang berarti. Imunitas seluler dapat diukur dengan menilai hipersensitivitas tertunda (delayed hypersensitivity) terhadap antigen pada kulit, seperti kandida, trikofiton, tuberkulin, dan streptokinase. Anergi yaitu tiadanya reaksi imunologi, didiagnosis bila tidak ada reaksi terhadap antigen tersebut. Sebaliknya, bila reaksi positif, yaitu terdapat indurasi 5 mm atau lebih pada kulit terhadap salah satu antigen menunjukkan bahwa aktivitas limfosit normal. Uji lain adalah uji kemotaksis neutrofil dan jumlah populasi limfosit. Pemberian nutrisi yang baik dapat memperbaiki sistem imunologi. 8
Koagulasi Intravskular Menyeluruh
Disseminated intravascular coagulation (DIC) sering terjadi pada penderita dengan trauma berat dan sepsis. Koagulasi DIC ini terjadi difus di tubuh sehingga menhabiskan faktor pembekuan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus pula. Terjadinya koagulasi dapat merusak jaringan di sekitar pembuluh tersebut. 8
Secara klinis adanya DIC dapat dilihat dari perdarahan difus pada luka atau bekas tusukan jarum. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah trombosit yang menurun, waktu trombin dan waktu protrombin memanjang. Jumlah fibrinogen menurun sampai 75 mg/dl dan terdapat monomer dan degradasi fragmen dari fibrin. 8
Pada DIC dianjurkan untuk memberikan vitamin K yang dapat memperbaiki waktu trombin dan waktu protrombin yang memanjang. Bila terdapat defisiensi fibrinogen, diberikan kriopresipitat yang mengandung 250 mg fibrinogen. Umumnya harus diberikan heparin untuk mencegah koagulasi dan mungkin dibutuhkan trombosit untuk mengatasi trombositopenia dan menghentikan pembekuan patologis ini. 8
Penilaian Derajat Trauma
Luas dan beratnya trauma ditentukan oleh nilai derajat trauma yang dipakai sejak 1981 dan memberikan gambaran beratnya trauma, berdasarkan pemeriksaan pernapasan, perdarahan, dan kesadaran. Angka ini penting untuk menentukan klasifikasi dan prognosis penderita cedera berat. Penilaian gerak napas di dada dan pengisian kembali kapiler tidak digunakan untuk menilai derajat trauma karena sukar menentukan angka bakunya.
Pernapasan ditentukan frekuensinya, perdarahan dinilai berdasarkan tekanan darah arterial, sedangkan kesadaran diukur berdasarkan skala koma Glasgow yang direduksi kira-kira seperempat dari angka penilaiannya. Setiap parameter diberi angka 0 sampai 4 (makin rendah angka, makin buruk keadaan). Beratnya trauma diperkirakan berdasarkan jumlah semua angka: jadi terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 12. 7







Tabel 1. Derajat Trauma (nilai 0-12)
Pemeriksaan Angka
Pernapasan (kali/menit)
10-29 4
>29 3
6-9 2
1-5 1
0 0
Tekanan sistol (mmHg)
>89 4
76-89 3
50-75 2
1-49 1
0 0
Skala koma Glasgow
13-15 4
9-12 3
6-8 2
4-5 1
3 0

Tabel 2 Skala koma Glasgow (jumlah 3-15)
Angka
E. Mata membuka
spontan 4
setelah dipanggil 3
dengan rangsang nyeri 2
tidak pernah 1
M. Respons motorik
mengikuti perintah 6
lokalisasi nyeri 5
rangsang menghindar 4
fleksi 3
ekstensi 2
tidak ada 1
V. Respons verbal
menjawab pertanyaan dengan benar 5
jawaban berupa kalimat namun terdapat disorientasi 4
mengeluarkan suara berupa kata dengan rangsang nyeri 3
mengerang dengan rangsang nyeri 2
tidak ada 1
Pemeriksaan yang paling banyak dilayani dokter untuk pelayanan visum et repertum (VeR) adalah untuk korban yang mengalami trauma (cedera), baik masih hidup atau telah meninggal. Berbeda dengan pelayanan luka untuk penyembuhan, untuk VeR dokter melayaninya untuk kepentingan medikolegal. Dokter memeriksa dan merekam dengan teliti semua penemuan yang didapatinya dan memberikan pendapat tentang hubungan sebab akibat, karena pemeriksaan yang menyeluruh akan menentukan proses hukum di pengadilan nanti. Diperlukan kejelasan mengenai jenis trauma, alat yang digunakan, hubungan sebab akibat, umur luka, serta derajat kualifikasi luka. Pada orang mati ditambah dengan penentuan sebab, cara, dan mekanisme kematian.7
Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sedikit berbeda dengan pengertian medis. Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah pengetahuan tentang alat atau benda yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artinya orang yang sehat, tiba-tiba terganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang dapat menimbulkan kecederaan. Aplikasinya dalam pelayanan Kedokteran Forensik adalah untuk membuat terang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada seseorang.7
Klasifikasi trauma (luka)
Ditinjau dari bebagai dari sudut dan kepentingan, luka dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a) Etiologi
1) Trauma mekanik
Trauma atau luka mekanik terjadi karena alat atau senjata dalam berbagai bentuk, alami atau dibuat manusia seperti kampak, pisau panah,martil, dan lain-lain. Bila ditelusuri, benda-benda initelah ada sejak zaman pra sejarah dalam usaha manusia mempertahankan hidup sampai dengan pembuatan senjata-senjata masa kini seperti senjata api, bom, dan senjata penghancur lainnya. Akibatnya pada tubuh manusia dapat dibedakan dari penyebabnya.

• Kekerasan tumpul
Benda tumpul yang sering mengakibatnya luka antara lain: batu, besi,sepatu, tinju, lantai, jalan, dan lain-lain. Kekerasan tumpul dapat terjadi karena dua sebab: alat atau senjata yang mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang bergerak ke arah objek atau alat yang tidak bergerak. Dalam bidang medikolegal kadang-kadang hal ini perlu dijelaskan, walaupun terkadang sulit dipastikan.
Luka karena kekerasan tumpul dapat berbentuk salah satu atau kombinasi dari luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang, atau luka tertekan.
 Luka memar (bruise, contusion)
Perdarahan jaringan di bawah kulit atau di bawah permukaan organ akibat pecahnya pembuluh darah kecil atau kapiler tanpamenyebabkan luka di permukaan kulit atau membran mukosa. Perdarahan atau ekimosis ini berwarna biru kehitaman dan kadang-kadang disertai pembengkakan. Pada orang kulit gelap warna biru kehitaman akibat memar kadang-kadang sulit terlihat, sehingga pembengkakan bisa dipakai sebagai petunjuk.Bentuk dan luas luka dipengaruhi oleh kuat benturan, alat atau benda penyebab, keadaan jaringan, umur, kelamin,dan kondisi tubuh seseorang.
Akibat trauma pada orang sehat dan berotot kuat tentu berbeda dengan orang yang biasa, apalagi pada orang tidak sehat. Luka memar di jaringan longgar seperti di daerah mata, leher,dan lain-laincenderung menjadi luas. Luka memar ini bisa berpindah tempat (ectopic bruises) akibat gravitasi seperti luka di kening menjadi ”kaca hematom” di daerah mata. Luka ini dapat memberikan gambaran alat yang digunakan seperti tali pinggang, cambuk, roda ban, dan lain-lain.
Bersamaan dengan perjalanan waktu, luka memar menyebmbuh dan terjadi perombakan zat warna hemoglobin. Dalam 4 sampai 5 hari menjadi hijau, lalu kekuningan dalam beberapa hari kemudian dan menghilang dalam 10 sampai 14 hari. Perubahan warna ini tidak dapat dipakai secara tepat untuk menentukan lamanya perlukaan, karena dipengaruhi banyak faktor. Perubahan warna dalam penyembuhan bergerak dari tepi ke tengah, artinya perlukaan tampak makin mengecil.
Kadang-kadang bisa diragukan dengan lebam mayat, Apalagi bila terletak di bagian bawah setentang dengan lebam mayat. Untuk itu perhatikan pinggir memar tidak rata (lebam mayat berbatas tegas di tempat tertekan),ada pembengkakan (pada lebam mayat tidak ada pembengkakan), pada insisi daerah luka warna hematom tidak hilang pada penyiraman dengan air (lebam mayat hilang dengan penyiraman air), dan bila perlu dilakukan pemeriksaan mokroskopis di mana didapati infiltrasi sel darah merah dan putih sebagai reaksi jaringan tubuh (reaksi vital) pada perlukaan.
Luka memar jarang fatal, kacuali kerusakan organ interna atau mengakibatkan neurogenik syok dan emboli lemak pada pukulan atau benturan berat.
 Luka lecet
Luka pada kulit yang superfisial di mana epidermis bersentuhan dengan benda yang kasar permukaannya.Arah luka dapat ditentukan dari penumpukan epidermis yang terseret ke satu posisi. Bentuk luka lecet kadang-kadang bisa menunjukkan bentuk alat ayng dipakai. Nilai medikolegal dari luka lecet ini antara lain menunjukkan adanya kekerasan, bentuk alat yang digunakan, bekas cakaran, ataupun bekas gigitan. Untuk kepentingan VeR walaupun kecil, luka lecet harus diamati dan direkam karena mempunyai nilai medikolegal.
 Luka robek (laceration)
Luka robek adalah luka terbuka akibat trauma tumpul yang kuat. Mudah terbentuk bila dekat ke dasar bagian yang bertulang. Luka ini umumnya tidak menggambarkan bentuk dan ukuran alat yang digunakan. Ciri-irinya bentuk tidak teratur, pinggir tidak rata, bengkak, sering kotor (sesuai benda penyebab), perdarahan tidak banyak (dibanding luka sayat), terdapat jembatan jaringan antara kedua tepi luka (otot, pembuluh darah, serabut saraf), rambut terbenam dalam luka, sering disertai memar dan luka lecet. Akibat pukulan yang keras ini bisa tejadi perdarahan di bagian dalam tubuh akinat robeknya organ dalam seperti hati, limpa, jantung, dan aorta.
Proses penyembuhan terlihat mulai dari penggumpalan darah di permukaan luka. Pembentukan jaringan ikat dimulai dari dalam luka dan terakhir pembentukan jaringan kulit. Dalam jaringan kulit baru tidak didapati kelenjar keringat dan lain-lain apendiks kulit.
Perkiraan umur luka tidak bisa ditentukan dengan tepat. Seperti juga pada luka memardan luka lecet, umur luka hanya dapat dinyatakan dalam kategori sangat baru, beberapa hari, dan lebih dari beberapa hari. Luka robek bisa sangat hebat, sehingga terjadi perdarahan yang fatal. Luka di daerah jaringan berlemak dapat menyebabkan emboli lemak pulmonal atau sistemik.
Perdarahan organ dalam bis aterjadi segera, tetapi dapat juga tertunda beberapa hari kemudian (pada luka robek yang tidak komplit) yang akan memperparah daya tahan jaringan tersebut, sehingga suatu saat jebol dan hal ini sangat penting ditentukan dokter, apakah perdarahan tersebut berkaitan dengan trauma awal.



 Patah tulang (fracture)
Pada trauma tumpul yang kuat dapat terjadi patah tulang. Pada anak-anak dan orang muda tulang masih lentur dan dapat menyerap tekanan kuat. Tekanan berat (misalnya dilindas mobil) pada dada anak-anak dapat menyebabkan hancurnya organ dalam tanpa patah tulang iga. Pecahan tulang dapat menunjukkan arah trauma. Patah tulang dapat menimbulkan perdarahan luar dan perdarahan dalam.
Yang paling berbahaya adalah trauma tumpul pada tulang kepala, karena dapat terjadi perdarahan epidural, subdural, subarakhnoid, dan intraserebral.
Patah tulang dapat menimbulkan rasa nyeri dan gangguan fungsi. Rongga dalam tulang panjang banyak mengandung sel-sel lemak, yang bila patah dapat memasuki sirkulasi darah dan menyebabkan emboli pulmonal dan atau emboli otak. Gejala emboli dapat muncul sesudah 2 sampai 4 hari kemudian. Emboli pulmonal terlihat dari gejala gangguan pernapasan (respiratory distress) sesudah 14 sampai 16 jam. Perdarahan ekstradural terjadi karena robeknya arteri meningea media yang berada pada bagian dalam tempurung kepala.
 Tekanan atau kompresi
Tekanan yang lama pada jaringan dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah sehingga menimbulkan matinya jaringan (gangren). Bila terjadi pada tangan dan kaki dapat menyebabkan tindakan amputasi. Bila tekanan di dada dapat menyebabkan asfiksia (traumatic asphyxia).





• Kekerasan tajam
 Luka sayat (incised wound)
Luka karena irisan senjata tajam yang menyebabkan luka terbuka dengan pinggir rata, menimbulkan perdarahan banyak, jarang disertai memar di pinggir luka, semua jaringan otot, pembuluh darah, saraf dalam luka terputus, juga rambut. Dalam pemeriksaan luka ini dibedakan dengan luka robek, sebab pada luka robek jaringan ini masih ada yang utuh dan disebut dengan jembatan jaringan. Ukuran lebar luka sayat lebih daripada ukuran dalamnya luka.
Luka sayat tidak begitu berbahaya, kecuali luka sayat mengenai pembuluh darah yang dekat ke permukaan seperti di leher, siku bagian dalam, pergelangan tangan, dan lipat paha.
 Luka tusuk, tikam (puncture wound)
Luka yang mengenai tubuh melalui ujung pisau dan benda tajam lainnya, di mana ukuran dalamnya luka melebihi lebar luka. Pinggir luka dapat menunjukkan bagian yang tajam (sudut lancip) dan tumpul (sudut tumpul) dari pisau berpinggir tajam satu sisi. Tetapi jenis pisau ini bisa juga membuat kedua sisi luka tajam karena ujung pisau waktu menembus kulit membuat pinggir luka di sisi tumpul menjadi tajam.
Pisau dengan kedua sisi tajam seperti bayonet akan menghasilkan luka dengan dua pinggir tajam. Lebar luka tampak lebih kecil dari lebar pisau, apalagi bila luka melintang terhadap otot. Lebar luka penting diukur dengan merapatkan kedua repi luka, sebab itu akan mewakili lebar alat. Bila luka masuk dan keluar melalui alur yang sama maka lebar luka sama dengan lebar alat. Tetapi yang sering terjadi lebar luka melebihi lebar pisau karena tarikan ke samping waktu menusukkan dan waktu menarik pisau. Demikian juga bila pisau masuk ke jaringan dengan posisi miring.
Begitu pula dalamnya luka tidak menggambarkan penjang senjata, kecuali bila mangenai organ padat seperti hati. Umumnya dalam luka lebih pendek dari panjang senjata, karena jarang ditusuk sampai ke pangkal senjata. Tetapi dalamnya luka bisa melebihi panjang dari senjata karena elastisitas jaringan, misalnya luka tusuk pada perut.
 Luka bacok (chope wound)
Senjata tajam yang berat dan diayunkan dengan tenaga akan menimbulkan luka menganga yang lebar disebut luka bacok. Luka ini sering sampai ke tulang. Bentuknya hampir sama dengan luka sayat tetapi dengan deraat luka yang lebih berat dan dalam. Luka terlihat terbuka lebar atau menganga. Perdarahan sangat banyak dan sering mematikan.
2) Luka termis (suhu)
• Temperatur panas
 Terpapar suhu panas (heat stroke, heat exhaustion, heat cramps)
 Benda panas (luka baker dan scald)
• Temperatur dingin
 Terpapar dingin (hipotermia)
 Efek lokal (frost bite)
3) Luka kimiawi
• Zat korosif
• Zat iritasi
4) Luka listrik, radiasi, ledakan, dan petir




b) Derajat kualifikasi luka
1) Luka ringan
2) Luka sedang
3) Luka berat
c) Medikolegal
1) Perbuatan sendiri (bunuh diri)
Umumnya karena kekerasan tajam dan luka tembak, lokasi luka kekerasan tajam umumnya di pergelangan tangan (luka sayat) dan dada kiri (luka tikam) dan pada luka tembak di temporal kanan, mulut ataupun pada daerah jantung. Karena umumnya orang memakai tangan kanan, maka luka bunuh diri dengan senjata tajam akan didapati sebelah kiri, tetapi pada orang kidal sebaliknya.
Bila didapati adanya kejang mayat (cadaveric spasm), itu merupakan petunjuk tindakan bunuh diri. Arah luka juga membantu. Arah goresan pada kulit, arah luka tikam atau luka tembak dapat diperkirakan itu perbuatan korban sendiri. Korban tidak akan membuat luka yang tidak lazim arahnya. Misalnya luka sayat di leher mulai dari bagian kiri samping atas ke arah kanan bawah. Adanya luka percobaan merupakan petunjuk perbuatan bunuh diri. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP) akan membantu. Tetapi Indonesia pemerikasaan TKP jarang dilakukan oleh dokter.
2) Perbuatan orang lain (pembunuhan)
Biasanya karena kekerasan tajam, tumpul, dan luka tembak. Lukanya sering banyak dan lokasi luka dapat terjadi di semua tempat, terutama di lokasi yang sulit dicapai tangan korban. Ini merupakan indikasi pembunuhan. Demikian pula arah luka akan membantu untuk mengarahkan penentuan cara kematian. Sangat penting menemukan adanya luka perlawanan atau luka tangkis. Pemeriksaan di TKP pasti banyak membantu.

3) Kecelakaan
Umumnya karena kekerasan tumpul, tetapi dapat juga karena kekerasan tajam atau luka tembak. Biasanya berlokasi pada satu sisi tubuh misalnya jatuh pada satu sisi tubuh, tetapi dapat pula pada seluruh tubuh (terguling-guling). Arah luka tidak menentu.
Pemeriksaan TKP sangat membantu untuk menentukan medikolegal dari perlukaan.
4) Luka Tangkis dan luka percobaan
Pada pemeriksaan luka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu luka tangkis dan luka percobaan. Keduanya mempunyai bentuk, letak, dan kepentingan medikolegal. Luka tangkis terdapat di punggung tangan, jari tangan, siku, dan telapak tangan dan sering banyak karena mempertahankan tubuh dari serangan. Luka percobaan (tentative wound) mempunyai gambaran luka dangkal, tampak beberapa luka karena dilakukan berulang dengan letak hampir sejajar dan didapati satu luka yang dalam di daerah luka percobaan atau di tempat lain yang fatal. Biasanya di leher (arteri karotis) dan pergelangan tangan dalam (arteri radialis) karena tindakan bunuh diri.
5) Dibuat (fabricated)
d) Waktu kematian
1) Ante-mortem
2) Post-mortem








Pemeriksaan Luka
Dalam pemeriksaan, interpretasi luka harus berdasarkan penemuan dan tidak boleh dipengaruhi oleh keterangan pasien atau keluarga, sebab pada banyak kasus ada kecenderungan korban akan memperbesar keluhannya dengan maksud mendramatisir perlukaan untuk kepentingannya.
Pemeriksaan ditujukan untuk menentukan:
• Jumlah luka
• Lokasi luka
• Arah luka
• Ukuran luka (panjang, lebar, dan dalam)
• Jenis kekerasan
• Bentuk alat
• Kualifikasi atau derajat keparahan luka
• Medikolegal
• Luka ante-mortem atau post-mortem
Lokasi luka dijelaskan dengan menghubungkan daerah-daerah yang berdekatan dengan garis anatomi tubuh dan posisi jaringan tertentu, misalnya garis tengah tubuh, ketiak, puting susu, pusat, persendian dan lain-lain. Bentuk luka sebaiknya dibuat dalam bentuk sketsa untuk menggambarkan kerusakan permukaan kulit, jaringan di bawahnya dan bila perlu organ dalam (visera). Luka diukur secara tepat (dalam milimeter atau sentimeter), tidak boleh dalam ukuran kira-kira saja. Bila ada keraguan apakah luka terjadi ante atau post-mortem maka jaringan luka diambil untuk pemeriksaan mikroskopik.
Bila timbul pertanyaan dari hakim apakah suatu alat yang ditunjukkan dalam sidang pengadilan yang menyebabkan luka pada korban, maka jangan sekali-kali menjawab dengan pasti, sebab mungkin saja ada alat lain yang dapat menyebabkan luka yang sama sifatnya, walaupun memang terdapat hubungan antara bentuk alat dan luka yang terjadi.7


Trauma Pelvis
Truama pelvis adalah trauma pada area pelvis yang dapat terjadi mulai dari yang ringan hingga yang mengancam kehidupan. Hal ini termasuk fraktur ring pelvis, fraktur acetabulun, serta injury pada jaringan yang ada pada area pelvis.
Mayoritas dari trauma panggul yaitu adanya injury yang disebabkan oleh trauma tumpul dengan kekuatan tinggi, meskipun pada pasien yang tua dan lemah, trauma dapat terjadi akibat rudapaksa tumpul dengan kekuatan rendah. Trauma dengan kekuatan tinggi meningkatkan resiko injury pada organ visera pelvis.9

2.2 ANATOMI PELVIS
Pelvis adalah daerah batang tubuh yang berada di sebelah dorsokaudal terhadap abdomen dan merupakan daerah peralihan dari batang tubuh ke extremitas inferior. Pelvis bersendi dengan vertebra lumbalis ke-5 di bagian atas dan dengan caput femoris kanan dan kiri pada acetabulum yang sesuai. Pelvis dibatasi oleh dinding yang dibentuk oleh tulang, ligamentum, dan otot. Kavitas pelvis yang berbentuk seperti corong, memberi tempat kepada vesicaurinaria, alat kelamin pelvic, rectum, pembuluh darah dan limfe, dan saraf. Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. Kerangka pelvis terdiri dari: dua os coxae yang masing-masing dibentuk oleh tiga tulang : os ilii, os ischii, dan os pubis, os sacrum.1 Os sacrum terdiri dari lima vertebrae rudimenter yang bersatu membentuk tulang berbentuk baji yang cekung kea rah anterior. Pinggir atas atau basis ossis sacri bersendi dengan vertebra lumbalis V. Pinggir inferior yang sempit bersendi dengan os coceygis. Di lateral, os sacrum bersendi dengan kedua os coxae membentuk articulation sacroiliaca. Pinggir anterior dan atas vertebra sacralis pertama menonjol ke depan sebagai batas posterior apertura pelvis superior, disebut promontorium os sacrum, yang merupakan bagian penting bagi ahli kandungan untuk menentukan ukuran pelvis. Foramina vertebralia bersama-sama membentuk canalis sacralis. Canalis sacralis berisi radix anterior dan posterior nervi lumbales, sacrales, dan coccygeus filum terminale dan lemak fibrosa.1
Os coccygis berartikulasi dengan sacrum di superior. Tulang ini terdiri dari empat vertebra rudimenter yang bersatu membentuk tulang segitiga kecil yang basisnya bersendi dengan ujung bawah sacrum. Vertebra koksigeus hanya terdiri atas korpus, namun vertebra pertama mempunyai processus transverses rudimenter dan cornu coccygeum. Kornu adalah sisa pedikulus dan processus articularis superior yang menonjol ke atas untuk bersendi dengan kornu sakral.1 Os inominatum (tulang panggul), tulang ini terdiri dari tiga bagian komponen, yaitu: ilium, iskium, dan pubis. Saat dewasa tulang-tulang ini telah menyatu selurunya pada asetabulum. Ilium : batas atas tulang ini adalah Krista iliaka. Krista iliaka berjalan ke belakang dari spina iliaka anterior superior menuju spina iliaka posterior superior. Di bawah tonjolan tulang ini terdapat spina inferiornya. Permukaan aurikularis ilium disebut permukaan glutealis karena disitulah pelekatan m. gluteus. Linea glutealis inferior, anterior, dan posterior membatasi pelekatan glutei ke tulang. Permukaan dalam ilium halus dan berongga membentuk fosailiaka. Fosailiaka merupakan tempat melekatnya m. iliakus. Permukaan aurikularis ilium berartikulasi dengan sacrum pada sendi sakro iliaka (sendi sinovial). Ligamentum sakro iliaka posterior, interoseus, dan anterior memperkuat sendi sakro iliaka. Linea iliopektinealis berjalan di sebelah anterior permukaan dalam ilium dari permukaan aurikularis menuju pubis. Iskium : terdiri dari spina di bagian posterior yang membatasi insisura iskiadika mayor (atas) dan minor (bawah). Tuberositas iskia adalah penebalan bagian bawah korpus iskium yang menyangga berat badan saat duduk. Ramus iskium menonjol ke depan dari tuberositas ini dan bertemu serta menyatu dengan ramus pubis inferior.1

Pubis, terdiri dari korpus serta rami pubis superior dan inferior. Tulang ini berartikulasi dengan tulang pubis di tiap sisi simfisis pubis. Permukaan superi or dari korpus memiliki krista pubikum dan tuberkulum pubikum. Foramen obturatorium merupakan lubang besar yang dibatasi oleh rami pubis dan iskium.1 Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale.

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis. Sumber: Hak et al, 2009.
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis. Sumber: Hak et al, 2009.
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis (gambar 2).
Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis. Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.1
Struktur Dinding Pelvis
Dinding pelvis dapat dibedakan atas dinding ventral, dua dinding lateral, dinding dorsal, dan sebuah dasar pelvis Dinding pelvis ventral. Dinding pelvis ventral pertama-tama dibentuk oleh kedua corpus ossis pubis dan ramus ossis pubis serta symphisis pubica. Dinding-dinding Pelvis Lateral. Dinding-dinding pelvis lateral memiliki kerangkatulang yang dibentuk oleh bagian-bagian os coxae. Musculus obturator internus menutupi hampir seluruh dinding-dinding ini. Medial terhadap musculus obturator internus terdapat nervus obturatorius dan pembuluh obturatoria, dan cabang lain dari pembuluh iliaca interna. Masing-masing musculus obturator internus meninggalkan pelvis melalui foramen ischiadicum minus dan melekat pada femur (os femoris).1 Dinding Pelvis Dorsal. Dinding pelvis dorsal dibentuk oleh sacrum, bagian-bagian os ischii yang berdekatan, dan articulation sacroiliaca serta ligamenta sacroiliaca. Musculus piriformis melapisi dinding ini di sebelah lateral. Masing-masing musculus piriformis meninggalkan pelvis minor melalui foramen ischiadicum (sciaticum) majus. Medial terhadap musculus piriformis terdapat saraf-saraf dari plexus sacralis dan pembuluh iliaca interna serta cabangnya.1 Dasar Pelvis. Dasar pelvis dibentuk oleh diaphragma pelvis yang dibentuk oleh musculus levator ani dan musculus coccygeus serta fascia-fascia yang menutupi permukaan cranial dan permukaan kaudal otot tersebut. Diaphragma pelvis terbentang antara os pubis di sebelah ventral, dan os coccyges di sebelah dorsal, dan dari dinding-dinding pelvis lateral yang satu ke dinding-dinding pelvis lateral di seberangnya. Karena itu, diaphragma pelvis menyerupai sebuah corong yang tergantung pada tempat perlekatan tadi.1





Macam-macam bentuk pelvis Klasifikasi normal yang dipakai adalah klasifikasi dari Caldwell dan Molloy. Ada empat kelompok utama:1
1. Ginekoid
Pelvis Ginekoid adalah nama lain dari pelvis wanita normal. Mempunyai pintu masuk berbentuk bulat dan pintu keluarnya mempunyai spina ischiadica yang tumpul (bulat), tidak tajam dan tidak menonjol. Arcus pubis mempunyai sudut yang membulat. Pelvis jenis ini memiliki efek yang menguntunkan pada sat persalinan, karena pelvis bulat di depan, maka fetus akan memberikan presentasi kepala sehingga jalannya persalinan akan lebih mudah.
2. Android
Pelvis Android mempunyai pintu masuk yang berbentuk jantung, menyebabkan pelvis bagian depan sangat sempit. Mempunyai kurvatura yang buruk. Pintu keluar membentuk angulus subpubicus yang lebih tajam dan mempersempit ruangan. Spina ischiadica tajam dan membelok. Pelvis jenis ini membuat persalinan cenderung lebih lama,tetapi berlangsung normal.
3. Platipeloid
Pelvis jenis ini dapat disebabkan oleh faktor perkembangan, rakitis atau faktor herediter. Pintu masuknya berbentuk ginjal. Pintu keluarnya cukup luas karena arcus pubisnya sangat besar. Pada pelvis Platipeloid proses persalinannya cukup sulit karena kepala fetus mengalami kesulitan dalam memasuki pintu masuk pelvis.
4. Antropoid
Pintu masuknya berbentuk oval, mempunyai diameter anteroposterior yang panjang,tetapi diameter tranversa yang lebih pendek. Kavitas pelvisnya cukup memadai pada semua diameternya, tetapi agak dalam. Pintu keluarnya juga cukup memadai pada semua diameternya, dengan arcus pubis yang agak lebar. Pelvis ini mempunyai pintu masuk yang paling mudah dilalui kepala fetus. Lebih sering occiput terletak pada cekung sacrum dan bukannya mengarah ke anterior. Kemudian fetus melewati pelvis dengan posisi yang sama, dan lahir dengan posisi oksipitoposterior yang tidak mengalami reduksi, dan bukannya muka yang menghadap perinium.
Perbedaan Bentuk Panggul Pria dan Wanita
Adapun perbedaan bentuk panggul pria dan wanita adalah:
1. Pada wanita, dinding pelvis spurium dangkal, SIAS menghadap ke ventral. Pada pria, dinding pelvis spurium tajam / curam, SIAS menghadap ke medial.
2. Pada wanita, apertura pelvis superior berbentuk oval. Pada pria, apertura pelvis superior berbentuk heart-shaped, lengkung, dengan promontorium os sacrum menonjol ke anterior.
3. Pada wanita, pelvis verum merupakan segmen pendek suatu kerucut panjang. Pada pria, pelvis verum merupakan segmen panjang suatu kerucut pendek.
4. Pada wanita, ukuran-ukuran diameter rongga panggul lebih besar (perbedaan sampai sebesar 0.5-1.5 cm) dibandingkan ukuran-ukuran diameter rongga panggul pria.
5. Pada wanita, apertura pelvis inferior berbentuk bundar, diameter lebih besar. Pada pria, apertura pelvis inferior berbentuk lonjong dan kecil.
6. Pada wanita, angulus subpubicus adalah sudut lebar / besar. Pada pria, angulus subpubicus merupakan sudut tajam / kecil.
Pada cavum pelvis termasuk didalamnya organ-organ penting yaitu : vesika urinaria (kandung kencing). Terdapat juga organ yang merupakan sambungan dari organ-organ abdomen yaitu : colon sigmoid, rectum, lubang anus. Organ genetalia, pada wanita , yaitu : ovarium, tuba uteri falopii, uterus, mons veneris, labium mayus (bibir besar) kanan dan kiri, labium minus (bibir kecil) kanan dan kiri diatas berttemu menbentuk Clitoris, O.U.E orivisium uretra externum) dibawahnya terdapat Orivisium Vagina (lubang vagina). Sedangkan pada laki-laki: kelenjar prostat, vesikulaseminalis, penis, testis.1


Gambar 3. Anatomi Pelvis. Sumber : female_pelvis1.jpg courses.stu.qmul.ac.uk


Gambar 4. Potongan sagital pevis pria. Sumber: kappamedical.com
2.3 KLASIFIKASI TRAUMA PELVIS
Klasifikasi Young dan Burgess
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.2 Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 5). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.2 Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.2
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.2 Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan menunjukkan korelasi yang baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar.2 Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit.2
Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6 %. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20 %) dan pola CM (18 %) dibandingkan pada pola LC (0 %) dan pola VS (0 %). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya.2 Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80 % pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12 % berhubungan dengan cedera urogenital dan 8 % berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.2



Gambar 5. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur. Sumber: Guthrie, 2010.
Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80 % pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12 % berhubungan dengan cedera urogenital dan 8 % berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.2 Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu, termasuk ahli bedah umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah, seorang ahli intervensi radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola gambaran cedera sehubungan dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada evaluasi dan perawatan masalah jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan pernafasan.1
Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory Distress Syndrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal.
Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST.1
Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh.1
Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7 % dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb).1

Tabel 3 Klasifikasi Perdarahan ATLS1
Kelas Rata-rata Kehilangan Darah (mL) Volume Darah (%) Tanda dan Gejala Umum Kebutuhan Resusitasi
I <> <> Tidak ada perubahan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah Tidak ada
II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe; tekanan darah sistolik hanya menurun sedikit; sedikit dipsnoe; tekanan darah sistolik hanya menurun sedikit; pengurangan pengurangan output urin (20-30 mL/jam) Biasanya larutan kristaloid tunggal, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah
III 1500 – 2000 30 – 40 Takikardi dan takipnoe yang jelas, ekstremitas dingin,menurunnya tekanan darah sistolik, menurunnya status mental, menurunnya output urin (5-15 mL/jam) Seringnya membutuhkan transfusi darah


IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan darah sistolik yang menurun, kulit dingin dan pucat, mental status yang menurun,output urin yang tak berarti Perdarahan yang membahayakan-jiwa membutuhkan transfusi segera


Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah < 15 %, output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.1 Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40 % (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah sistemik.1 Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagai tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan kelas 4 didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40 % volume darah (> 2000 ml) mewakili perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan intervensi bedah segera.1
Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat memberikan informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior, harus diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat berharga untuk menjelaskan instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma abdomen bisa meliputi potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi dari studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat membantu dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-scan berkepanjangan pada pasien hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun hanya setelah pasien distabilkan.1 Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang telah terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau hilangnya perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang membandingkan metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi yang diperlihatkan oleh angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84 %. Hasil angiografi pelvis adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti perdarahan pada CT-scan preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT pada dua pasien yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85 % untuk deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan adanya atau hilangnya perdarahan pada studi ini adalah 90 %.1

2.4 PEMERIKSAAN FISIK
Patah tulang panggul dapat didiagnosis secara akurat melalui pemeriksaan fisik, tetapi indeks kecurigaan yang tinggi untuk patah tulang berdasarkan mekanisme cedera sangat penting. Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan untuk lecet dan memar, simetri, terisolasi rotasi dari tungkai bawah, dan perbedaan dalam panjang ekstremitas. Perbedaan panjang tungkai mungkin karena cedera pinggul, cedera femoral, atau cedera panggul vertikal tidak stabil. Krista iliaka yang terputar menunjukkan fraktur serius. Stabilitas putaran dievaluasi dengan meraba untuk perlunakan dan krepitasi dengan kompresi ke dalam dan posterior pada puncak dan dengan kompresi ke belakang pada simfisis pubis.3
Menggoyangkan panggul adalah tidak tepat, dan perawatan harus diambil untuk menghindari bergesernya patah tulang atau mengganggu suatu hematoma panggul selama pemeriksaan. Jika tidak ada patah tulang dari tungkai bawah, stabilitas vertikal dinilai oleh traksi manual memanjang pada bagian bawah kaki. Perlunakan atas trokanter menunjukkan cedera kaput femoralis cedera atau acetabulum. Setiap cacat kulit di balik panggul harus diselidiki sebagai dugaan fraktur terbuka.3 Komplikasi untuk cedera pada saluran kemih terjadi sampai seperempat fraktur pelvis, terutama patah tulang dengan cedera genitourinari pada atau dekat simfisis pubis. Sampai dengan 6 % dari perempuan dan 11 % dari pria yang memiliki patah tulang panggul mengalami cedera uretra, frekuensi yang lebih rendah pada bayi dan anak-anak. Darah di lubang kemih atau "naik tinggi" ke prostat menunjukkan cedera uretra dan merupakan kontraindikasi relatif untuk penempatan Foley kateter.3 Jika cedera uretra dicurigai, sebuah retrograde urethrogram harus diperoleh sebelum penempatan kateter di kandung kemih. Untuk urethrograms retrograd, sebuah radiograf polos abdomen diperoleh, dan kemudian 60 mL bahan kontras disuntikkan langsung ke dalam uretra melalui jarum suntik ditempatkan. Radiograf lain adalah diperoleh injeksi 10 mL bahan kontras. Ekstravasasi bahan kontras menunjukkan cedera uretra.3 Cedera genitourinari lain juga mungkin, sehingga sampel urin harus dikumpulkan. Hematuria mikroskopis jarang berhubungan dengan cedera yang signifikan, namun hematuria kotor harus segera evaluasi lebih lanjut. Jika tidak terjadi cedera uretra, gross hematuria menunjukkan kerusakan kandung kemih atau kerusakan ginjal. Tekanan yang dipancarkan bisa memecahkan kandung kemih.3
Kandung kemih dapat dievaluasi dengan menggunakan cystography, sebuah kateter Foley dimasukkan, dan radiografi diperoleh ketika kandung kemih penuh dengan sampai 400 mL bahan kontras dan lagi setelah bahan kontras dikeringkan. Pada pasien dengan status hemodinamik stabil, baik kandung kemih dan ginjal dapat dievaluasi dengan menggunakan computed tomography (CT).3 Disfungsi seksual pada pria berhubungan dengan trauma pelvis, dan frekuensi impotensi baik dengan dan tanpa pecahnya uretra adalah signifikan. Cedera gynecologic dan vagina adalah jarang pada fraktur panggul, dan cedera ginekologis paling banyak terjadi pada wanita yang sedang hamil.3 Cedera gastrointestinal yang berhubungan dengan fraktur panggul dapat terjadi baik sebagai cedera traumatik yang terpisah atau sebagai laserasi oleh ujung tajam tulang yang retak. Kedua pemeriksaan dubur dan vagina diperlukan untuk menyingkirkan suatu sambungan melalui laserasi.3 Kedekatan struktur neurologis ke sakrum dan acetabulum menciptakan kemungkinan untuk cedera saraf. Cedera saraf tulang belakang yang paling sering dikaitkan dengan fraktur panggul ketika pasien memiliki patah tulang sakral vertikal pada atau di atas tingkat L5 atau fraktur melintang tulang sakral. Luka-luka di tingkat tertentu menyebabkan pola defisit spesifik, sehingga dermatom pada dan di bawah L5 harus dinilai dengan hati-hati. Perhatian khusus harus diberikan kepada plantar fleksi dan dorsifleksi kaki besar, sensasi di kaki, dan dalam tendon reflex achilles.3

2.5 PENYEBAB KEMATIAN
Perdarahan arteri adalah salah satu masalah yang paling serius yang berhubungan dengan patah tulang panggul, dan tetap menjadi penyebab utama kematian disebabkan fraktur panggul dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35 % pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi.10 Perdarahan mengancam jiwa yang berkaitan dengan fraktur panggul berasal dari tulang yang patah, pleksus vena panggul, pembuluh darah panggul besar, dan / atau cabang-cabang arteri iliaka. Perdarahan pada fraktur panggul disebabkan oleh cedera vena dan bagian yang patah dapat diobati secara efektif dengan fiksasi eksternal dengan mengurangi volume perdarahan dan menstabilkan fraktur. 10 Kematian pasien disebabkan oleh perdarahan dari fraktur pelvis sering terjadi dalam 24 jam pertama dari cedera.10



2.6 AUTOPSI PADA PELVIS
Autopsi adalah penilaian postmortem atau pemeriksaan tubuh untuk menentukan penyebab kematian. Autopsi dilakukan oleh seorang dokter yang ahli dalam bidang patologi dan forensik.11
Secara umum otopsi dilakukan pada :
• Kematian tidak wajar : kasus kematian yang didahului oleh pelanggaran hukum, misalnya kematian karena pembunuhan atau kecelakaan lalu lintas.
• Kematian wajar namun tidak terduga : kasus kematian yang masih menimbulkan kecurigaan karena walaupun wajar namun terjadi secara tidak terduga sehingga perlu dilakukan konfirmasi mengenai penyebab kematiannya.
Tujuan dilakukannya autopsi :
1. Mengetahui penyebab kematian.
2. Memastikan bahwa kematian disebabkan oleh perlukaan yang didapat dari kecelakaan.
3. Mendeteksi ada tidaknya tindak criminal dalam kecelakaan.
4. Mengetahui faktor yang berkaitan dengan kecelakaan ; misalnya alkohol, penyakit.
5. Mengetahui keparahan perlukaan dan mendeskripsikan luka.
6. Mengidentifikasi korban.
7. Mencatat semua data yang diperlukan ; baik untuk keperluan sipil maupun kriminal.
Perlakukan terhadap isi pelvis tergantung pada tipe kasusunya. Ketika perkiraan sebabkematian tidak berhubungan dengan lesi pada pelvis, pada mayat tersebut kandung kencingmungkin dibuka lebih lebar, mukosa dan trigonum diinspeksi sebelum prostat diincisi untukpemeriksaan. Testis didorong keatas melalui canalis inguinalis yang mana dibuat lebih lebar menggunakan pisau. Pada wanita, ovarium diincisi dan tuba fallopi di periksa dari atas sebelumuterus disayat pada midline dari fundus sampai cervix.
Pemeriksaan lebih lanjut untuk masing-masing jenis kelamin dapat dilakukan denganmengenukleasi isi pelvis. Pisau memotong mengelilingi mangkuk pelvis sebelum manarikkandung kencing hingga terpisah dari pelvis. Ketika dinding pelvis sudah lepas semua, pisaumemotong melalui bawah prostat kemudian melalui bagian rectum yang lebih rendah agar organpelvis dapat ditarik keluar. Pada wanita, ovarium dan tuba fallopi dipindahkan kedepan dan pisauditeruskan disekeliling dinding dari mangkuk pelvis, kemudian sampai didepan dan di bawah darikandung kencing. Atap dari vagina dan rectum dipotong, untuk melepaskan semua isinya.11

2.8 ASPEK MEDIKOLEGAL
Dalam ilmu perlukaan dikenal trauma tumpul dan trauma tajam. Luka merupakan kerusakan atau hilangnya hubungan antar jaringan (discontinuous tissue) seperti jaringan kulit, jaringan lunak, jaringan otot, jaringan pembuluh darah, jaringan saraf dan tulang3.
Trauma tumpul ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tumpul. Hal ini disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti batu, kayu, martil, terkena bola, ditinju, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu-lintas dan lain-lain sebagainya.
Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar (contusio), luka lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus laceratum).
Trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tajam. Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).7






Perbedaan antara trauma tumpul dan trauma tajam, tercantum dalam ikhtisar di bawah ini:
Tabel 4 Perbedaan luka tumpul dan luka tajam
Trauma Tumpul Tajam
Bentuk luka

Tepi luka

Jembatan jaringan

Rambut

Dasar luka



Sekitar luka tidak teratur

tidak rata

ada


tidak ikut terpotong

tidak teratur


ada luka lecet atau memar Teratur

Rata

tidak ada


ikut terpotong

berupa garis atau titik


tak ada luka lain

Di dalam melakukan pemeriksaan terhadap yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan sebagai berikut :
a. Jenis luka apakah yang terjadi ?
b. Jenis kekerasan / senjata apakah yang menyebabkan luka ?
c. Bagaimanakah kualifikasi luka ?
Pengertian kualifikasi luka disini semata-mata pengertian ilmu kedokteran forensik yang hanya baru dipahami setelah mempelajari pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukumpidana7.


Pasal 351
(1).Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500_
(2).Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
(3).Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun
(4).Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
(5).Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum
Pasal 352
(1). Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan orang yang berkerja padanya atau menjadi bawahannya
(2). Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Pasal 90
Luka berat berarti:
(*) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
(*) tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
(*) kehilangan salah satu pancaindera;
(*) mendapat cacat berat;
(*) menderita sakit lumpuh;
(*) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
(*) gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.


Dari pasal-pasal tersebut dapat dibedakan empat jenis tindak pidana yaitu :
1. Penganiayaan ringan
2. Penganiayaan
3. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
4. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian7
Oleh karena istilah penganiayaan merupakan istilah hukum, yaitu dengan sengaja melukai atau menimbulkan perasaan nyeri pada seseorang, maka di dalam visum et repertum yang dibuat dokter tidak boleh mencantumkan istilah penganiayaan oleh karena dengan sengaja atau tidak merupakan urusan hakim. Demikian pula dengan menimbulkan perasaan nyeri sukar sekali untuk dapat dipastikan secara objektif, maka kewajiban dokter didalam membuat visum et repertum hanyalah menentukan secara objektif adanya luka dan bila ada luka dokter harus menentukan derajatnya3.
Investigasi kematian secara medikolegal memberikan bukti mengenai cara dan penyebab kematian, demografi korban, dan sifat kejahatan yang dilakukan. Tujuan utama dari analisis postmortem adalah untuk mendiagnosa luka pada tulang rangka dan menafsirkan secara akurat mekanisme cedera, dari mana diagnosis penyebab kematian mungkin didapatkan, sebagai bukti apakah kejadiannya berkaitan dengan kejahatan atau tidak.3
Rekonstruksi Fraktur tulang untuk Mengidentifikasi Trauma
Pemeriksaan postmortem dari sisa-sisa tulang dimulai dengan radiografi atau fluoroscopy, diikuti dengan pemeriksaan detail dari setiap tulang dan terkait dengan pakaian pembungkusnya, untuk memastikan bahwa semua bukti, bahkan fragmen terkecil dari tulang yang sudah pulih. Sisa-sisa tulang dicuci dan diletakkan dalam rangka anatomi. Jaringan disekitar tulang dikeluarkan baik secara dicuci atau direbus. Ahli Antropologi kemudian merekonstruksi tulang yang patah sehingga jenis patah, pola, dan distribusi luka secara keseluruhan menjadi jelas. Bahan perekat digunakan untuk mengikat sisa-sisa retak tulang. Perekat kuat dan mudah untuk digunakan adalah "perekat instan" atau cyanoacrylates kelas komersial yang terdiri dari metil metakrilat, yang diaktifkan dengan katalis atau akselerator. Jenis perekat yang langsung mengikat dan menciptakan ikatan yang sangat kuat yang memungkinkan elemen kerangka rekonstruksi untuk ditangani, difoto, dan jika perlu, diradiografi tanpa perlu struktur dukungan eksternal.9

Gambar 6. Fragmen yang telah dihubungkan kembali. Artikulasi tulang sacrum yang lengkap (ditemukan di kuburan) dan tulang panggul (ditemukan di gua). Sumber :Alain Wittmann at Kimmerle and Baraybar 2008.
Pemeriksaan trauma rangka :9
1. Mengumpulkan semua tulang yang ada
2. Mendata lokasi wilayah yang terkena dampak pada tulang, termasuk sisi nya/ regionya
3. Berikan penjelasan dari:
 Jumlah dan jenis patah tulang atau cacat
 Adanya ketidaknormalan bentuk tulang, pertumbuhan abnormal, atau bagian yang hilang
 Tingkat keparahan, derajat keparahan, dan distribusi perubahan tulang abnormal
4. Dokumentasi setiap bukti radiografi (fraktur atau luka tembak)
5. Analisis pakaian (cacat, air mata, membakar, atau persenjataan)
6. Estimasi waktu fraktur berdasarkan:
 Adanya reaksi tulang (remodeling)
 Warna tepi retak
 Bentuk tanda cacat atau dipotong
 Ukuran wilayah yang terkena dampak, cacat, atau tanda dipotong
 Penampilan jaringan lentur
 Lokasi daerah yang terkena dampak
 Jumlah patah tulang atau tanda dipotong
7. Klasifikasi patologi tulang menurut kategori penyakit (yaitu, menular, gizi) dan spesifik mekanisme (yaitu, periostitis versus osteomylitis atau kudis versus anemia).
8. Estimasi mekanisme cedera, jenis senjata, jarak kebakaran atau ledakan, dan posisi korban berhubungan dengan arah gaya sehubungan dengan titik dampak.

Gambar 7. Sakrum orang dewasa, tampak posterior, lengkap dengan spina bifida. Nonunion dari lengkungan saraf sakralis, segmen 1-5. Cacat bawaan. Sumber : Jane Beck at Kimmerle and Baraybar 2008.

Gambar 8. Individu dewasa. Sakral Pertama (S1) dan kedua (S2) unsur congenitally yang tidak pernah menyatu (pergeseran vertebral lumbal, S1). Kerusakan Postmortem dijumpai ada permukaan anterior permukaan. Sumber : Beck Jane at Kimmerle and Baraybar 2008.

Gambar 9. Panggul orang dewasa, tampak superior. Penyatuan dari sendi sacroiliac kiri. Sendi sacroiliac kanan memiliki permukaan tambahan, di mana kedua tulang berartikulasi, bagian posterior dengan permukaan artikular. (Printed dengan izin dari Pengadilan Kriminal Internasional untuk Yugoslavia [ICTY]). Sumber: Kimmerle and Baraybar 2008.

Ada beberapa sistem klasifikasi patah tulang. Umumnya, patah tulang ditandai sebagai patah tulang sederhana atau multi-fragmentasi dan selanjutnya diklasifikasikan oleh sifat geometrik (misalnya spiral atau linier), posisi atau lokasi patah tulang, kelengkapan patah dan orientasi rekahan relatif pada tulang. Patahan yang sempurna atau sebagian dari jaringan tulang memisahkan jaringan tulang menjadi dua bagian disebut fraktur sederhana (simple fractured). Jika terdapat patah tulang dalam tiga atau lebih fragmen tulang disebut multi fragment or comminuted fracture. Sebaliknya, patah yang tidak sempurna dinamakan infarction.9
Tipe fraktur biasanya didapatkan dari penekanan dan kekuatan yang diterima oleh tulang tersebut. Fraktur linear dapat juga terjadi keperifer sebagai titik dari dampak fraktur, membentang jauh dari kekuatannya, tetapi tidak benar-benar berasal dari titik itu (Gurdjian et al 1950, Gurdjian 1975, Berryman dan Symes 1998.).9
Meskipun temuan ini masih diperdebatkan oleh beberapa ahli. Fraktur Linear berjalan sejajar dengan sumbu tulang, sedangkan fraktur transversal berjalan melewati sumbu ini. Patah konsentris atau "hoop" terjadi circumferentially disekeliling titik dampak. Pemancaran atau konsentrasi dari fraktur biasanya didapatkan dari penekanan trauma yang kuat (Harkess et al 1984, Symes et al. 1991.), walaupun patah tulang konsentris dapat terjadi tanpa adanya patah tulang lainnya(Gurdjian 1975). 9 Fraktur terjadi ketika suatu penekanan abnormal ditempatkan terhadap tulang dan ditandai oleh arahnya dan focus tempatnya (Ortner dan Puschar 1981). Arah gaya termasuk ketegangan, penekanan, pembelokannya, pembungkukan, atau pergeseran, dan, biasanya, gaya diterapkan dari beberapa arah dalam kombinasi. Fokus mengacu pada ukuran luas permukaan yang terkena dampak dan dikategorikan sebagai focus sempit atau lebar. Untuk tingkat tertentu, mekanisme cedera dapat dikategorikan dengan fokus dan beban gaya, khususnya jumlah energi yang dipindahkan dari senjata ke jaringan lunak dan tulang.9

Gambar 10. Beberapa daerah tubuh yang terkena luka tembak, satu kiri ke kanan
tembakan dari senapan kecepatan tinggi. Proyektil masuk melalui pinggul kiri (trokanter mayor femur) dan melewati tulang paha kiri. Proyektil yang memasuki ishium kiri, melewati melalui daerah pinggul, dan memasuki ishium yang tepat di mana ia menjadi tertanam dalam tulang. Sumber : Wittmann Alain at Kimmerle and Baraybar 2008.
Trauma tumpul memiliki fokus yang luas, sedangkan luka akibat proyektil akan dalam menembus dan memiliki fokus yang sempit. Luka pecahan dari ledakan peluru atau mekanisme peledakan yang ditandai dengan fokus sempit-luka proyektil yang tersebar disertai daerah yang luas ditubuh. Kisaran ledakan, lokasi ledakan, dan jenis alat peledak dan bahan yang digunakan menyebabkan penyebaran luka yang bervariasi pada luka akibat ledakan dan sejauh mana hasil rekah dari gelombang ledakan. Trauma tumpul, dibandingkan dengan luka tembakan, merupakan hasil dari gaya beban lambat. Trauma sampai kepanggul cenderung menjadi kompleks dan sangat bervariasi tergantung pada aspek apa yang dipengaruhi dan mungkin akan melibatkan struktur lainnya seperti sacrum, tulang belakang lumbal, atau aspek proksimal femur.9


Gambar 11. Multipel trauma pada pelvis,lumbal dan metacarpal kanan yang disebabkan oleh luka tembak. Sumber : Alain Wittmann at Kimmerle and Baraybar 2008 .
Gambar 11 menyajikan gambaran dari sebuah tulang panggul, tulang belakang, dan tangan kanan dengan senjata GSW tunggal berpeluru 7,62 × 39 mm ditemukan bersarang di aspek posterior dari tangan kanan. Peluru telah meremukkan pusat metakarpal. Pewarnaan hijau yang luas dari tembaga klorida dalam jaket logam peluru itu ditemukan di tulang yang terkait. Proyektil menembus melalui aspek posterior krista iliaka kiri, menembus melalui lamina dari L5, mempengaruhi ilium kanan (menyamping, yang menyebabkan cacat berbentuk eksentrik dengan patah tulang konsentris), perforasi ilium, dan terus berdampak ketangan kanan. Mengingat lokasi dan asosiasi luka, ada kemungkinan bahwa individu diikat atau diborgol pada saat penembakan, dengan punggung tangan setiap berkontak satu sama lain dan mungkin terhadap pinggul. Ketebalan fosa iliaka bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin individu. Dalam GSWs menembus kelateral, peluru mungkin melubangi kedua pelvis.9


Gambar 12. Pelvis anak-anak.Penyatuan tulang belum terjadi sejalan dengan umur. Luka tembak melalui sevdi scroiliak kiri, fraktur hebat pada tulang ala sacral kiri dan area auricular. Sumber : Carlos Jacinto at Kimmerle and Baraybar 2008.

Gambar 13. Tampak gambaran yang diperbesar dari luka tulang coxae kiri. Sumber: Carlos Jacinto at Kimmerle and Baraybar 2008.

Gambar 14. Os coxae kanan, sacrum, dan L5 menunjukkan luka tembak yang melewatinya masuk ke ilium, bersambung ke daerah superior, dan berdampak ke L5. Tampak fraktur comminuted complete pada setengah bagian anterior dari sacral. Printed with permission from International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia [ICTY]. Sumber: Kimmerle and Baraybar 2008.

Gambar 15. Tampak anterior dimana menunjukkan defek os coxae kiri disebabkan oleh multiple luka tembak. Ketiga defek tersebut ditunjukkan oleh panah (ICTY). Dalam kasus tersebut, masing-masing ilium menunjukkan luka masuk dan keluar. Sumber: Kimmerle and Baraybar 2008.

Gambar 16. Femur kiri dan os coxae. Satu tembakan yang dilalui menyebabkan cedera tembakan ke leher femur. Peluru memisahkan caput femur dari collumnya, menembus melalui acetabulum, dan menyerempet permukaan ventral dari simfisis pubis. Panah menunjukkan arah tembakan dari kiri ke kanan. (Dicetak dengan izin dari Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia [ICTY]). Sumber: Kimmerle and Baraybar 2008.



Jatuh Dari Ketinggian
Terutama di daerah perkotaan, jatuh dari ketinggian adalah fenomena yang secara signifikan menyebabkan morbiditas dan kematian penduduk. Luka yang diderita bervariasi tergantung pada ketinggian jatuh, komposisi permukaan, posisi tubuh saat mendarat dan faktor individu seperti umur, berat badan dan penyakit yang sudah ada sebelumnya. Kasus-kasus fatal jatuh dari ketinggian dapat membawa relevansi forensik tinggi, karena pada saat tubuh ditemukan, cara kematian sering tidak jelas. Luka yang diderita sebelum jatuh secara aktual yang mungkin telah ditimbulkan oleh orang lain mungkin akan tertutup oleh dampak cedera. Oleh karena itu sangat penting dalam kasus ini memperhitungkan tidak hanya temuan otopsi tetapi juga hasil toksikologi, temuan di lokasi kematian, dan sejarah medis, kejiwaan, dan sosial korban. Tujuan dari kajian ini adalah untuk merangkum temuan yang paling penting dalam kasus fatal jatuh dari ketinggian dan untuk membahas kemungkinan dan batas dalam menafsirkan temuan ini dengan memperhatikan secara khusus untuk cara kematian.12 Sebagian besar kasus jatuh dari ketinggian adalah kasus bunuh diri. Meskipun dibandingkan dengan metode bunuh diri lainnya, jatuh dari ketinggian relatif jarang, mereka telah diamati menjadi metode pilihan dalam bunuh diri lansia. Kecelakaan terjadi di tempat kerja, misalnya di situs konstruksi atau antara pekerja diatap dan pembersih jendela, dan selama kegiatan olahraga seperti mendaki atau gunung. Kasus pembunuhan relatif jarang. Dalam kasus pembunuhan, cedera tambahan mungkin ada yang tidak dapat dijelaskan oleh jatuh saja, seperti cedera bertahan atau serangan. Tapi luka-luka tersebut juga bisa tidak ada jika korban itu diculik, jika pelaku secara fisik lebih kuat dari korban, atau jika korban tak berdaya, misalnya karena diracuni.12
Selanjutnya, luka-luka tersebut dalam kebanyakan kasus akan sangat sulit untuk membedakan dari cedera yang timbul dari jatuh itu sendiri. Dengan demikian, ahli patologi forensik menangani kasus-kasus seperti itu akan sangat bergantung pada setiap bagian tambahan informasi yang bisa mendapatkan dan bekerja interdisipliner efektif antara semua pihak yang terlibat, yaitu patologi forensik, polisi, dokter dan kadang-kadang kerabat.12


Gambar 17. A.Tidak terlihat luka luar pada bagian punggung korban jatuh bebas.B. Hematoma luas pada jaringan lunak di wilayah yang sama seperti diungkapkan oleh pembedahan selama otopsi. Sumber: Tsokos 2008.
Temuan adegan kematian Pertama-tama, lokasi adegan kematian sudah bisa membawa beberapa informasi yang berharga mengenai klasifikasi kematian tersebut. Jatuh atau melompat dari tempat di mana orang biasanya tidak pergi, seperti atap rumah, tebing atau jembatan dimana tidak ada pejalan kaki yang diperbolehkan, sangat curiga terhadap bunuh diri. Bunuh diri juga sering terjadi pada masyarakat, seperti melakukan pembunuhan, sedangkan kecelakaan jatuh dari ketinggian telah terbukti jarang terjadi pada korban rumah dan lebih sering di-tempat kerja mereka. Khususnya di tempat kerja yang berbahaya seperti situs bangunan, sebagian besar jatuh dari ketinggian akan kebetulan.
Telah dibuktikan bahwa bangunan tinggi lebih disukai jika seseorang mau melompat dari ketinggian dengan niat bunuh diri, sedangkan dalam kecelakaan jenis ketinggian lebih bervariasi. Pengamatan ini sejalan dengan temuan bahwa para korban biasanya mati ketika ditemukan jika cara kematian adalah bunuh diri, sedangkan korban lebih bertahan pada awalnya jika cara jatuhnya merupakan kecelakaan. Diharapkan, kecelakaan kerja telah menunjukkan biasa terjadi secara eksklusif pada jam kerja, sedangkan bunuh diri sering terjadi di malam hari atau di malam hari.12 Tanda-tanda perkelahian di tempat kematian selalu menyarankan pembunuhan. Pada kecelakaan jatuh dari ketinggian, temuan adegan mungkin mengatakan bahwa orang tersebut telah bekerja ditempat yang berbahaya sebelum jatuh, misalnya pekerja pembersih kaca. Tanda-tanda penggunaan narkoba sebelum jatuh, seperti botol kosong, jarum suntik dan sejenisnya, mungkin menyarankan terjatuh karena kurangnya substansi yang berhubungan dengan koordinasi atau over-estimasi kemampuan fisik seseorang (misalnya di bawah pengaruh obat-obatan kokain atau psikedelik).12
Pola Cedera Pola cedera jatuh dari ketinggian, tentu saja, tergantung pada bagian tubuh yang menyentuh tanah pertama, serta ketinggian jatuh, umur dan berat tubuh korban, pakaian dan komposisi tanah.12
Pemeriksaan Luar Pemeriksaan pakaian sudah bisa memberikan beberapa petunjuk tentang sifat jatuh dari ketinggian. Pada dampak kaki yang jatuh pertama, robekan longitudinal di wilayah pinggang pada celana panjang dapat ditemukan karena peregangan inguinalis yang mungkin ada. Saat jatuh dari ketinggian yang hebat, pakaian mungkin tidak teratur letaknya setelah dampak. Kekotoran dan jaringan cacat karena kontak langsung ke permukaan tanah dapat menunjukkan lokasi dampak.12
Secara umum, luka yang tampak pada pemeriksaan luar cenderung relatif ringan dibandingkan dengan luka yang didapatkan setelah autopsy (gambar 17).12 Lebam mayat jarang ditemukan karena kehilangan darah. Memar di wilayah perineum sebagai sekuel gerakan relatif dari daerah tersebut terjadi pada jatuh dengan kaki pertama dan dapat disalahartikan sebagai tanda pelecehan seksual sebelum jatuh, sehingga salah mengarah pada asumsi jatuh dibunuh.12



Pemeriksaan Internal Cedera parah pada organ internal dan / atau sistem muskuloskeletal dapat ditemukan di semua kasus jatuh dari ketinggian. Hal ini berlaku umum bahwa ketinggian jatuh adalah penentu utama dari tingkat keparahan luka yang diderita pada kasus jatuh, dan beberapa cedera lebih sering di ketinggian jatuh lebih besar.12 Dampak pada jatuh yang didahului kaki, trauma vertikal deselerasi ini menyebabkan beberapa cedera seperti laserasi aorta dan patah tulang dasar tengkorak. Laserasi aorta juga terbukti sering terjadi pada kasus jatuh dengan posisi pendaratan lainnya. Tergantung pada bagian yang awal terkena, berbagai pola cedera bisa ditemukan.12
Organ retroperitoneal Pecahnya aorta abdominal, berbeda dengan pecahnya aorta torakal, relatif jarang terjadi. Perdarahan retroperitoneal telah diamati. Sedangkan beberapa penulis menyatakan bahwa perdarahan retroperitoneal luas sering terjadi dan dapat menyebabkan kejadian fatal. Perdarahan pada otot psoas dapat ditemukan sebagai akibat dari peregangan inguinal khususnya pada kasus jatuh didahului kaki. Pecahnya adrenal dapat ditemukan pada kasus jatuh dari ketinggian yang berakibat fatal. Cedera ginjal jarang dilaporkan terjadi tetapi dapat diabaikan - terutama jika hanya luka ringan hadir.12 Cedera ginjal dapat berat dan dengan demikian berkontribusi pada hasil yang fatal. Paling sering, adanya perdarahan kapsul ginjal tanpa adanya cedera ginjal ditemukan.12 Pecahnya parenkim ginjal adalah peristiwa langka. Luka yang paling sering terjadi yaitu ureter dan pembuluh darah yang melaluinya.12
Mayoritas korban jatuh dari ketinggian mati di tempat kejadian langsung atau dalam beberapa menit. Dari yang selamat, sebagian besar korban meninggal di bagian gawat darurat tak lama setelah masuk, dan hanya sebagian kecil korban bertahan lebih lama dari beberapa jam. Dalam kematian seketika, penyebab kematian paling sering adalah polytrauma, diikuti oleh trauma kepala dan kebanyakan pada trauma internal akibat kehilangan darah. Trauma kepala telah terbukti menjadi penyebab paling umum kematian pada korban jatuh bebas yang bertahan berjam-jam untuk hari. Dalam korban yang bertahan beberapa hari, kemungkinan penyebab lain dari kematian termasuk gagal organ multiple dan pulmonary embolism. Saat melompat atau jatuh ke air, tenggelam dapat menjadi penyebab kematian atau berkontribusi untuk hasil yang fatal.12


























BAB III
KESIMPULAN

Trauma pelvis sering terjadi terutama disebabkan trauma tumpul yang mana sering terjadi pada kecelakaan saat berkendara ataupun orang yang tertabrak kendaraan. Angka kematian pada trauma pelvis cukup tinggi bila tidak disertai penanganan yang baik. Kejadian trauma terhadap pelvis didominasi oleh fraktur pelvis yang mana mencapai angka 44%.
Perdarahan arteri adalah salah satu masalah yang paling serius yang berhubungan dengan patah tulang panggul, dan tetap menjadi penyebab utama kematian disebabkan fraktur panggul dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35 % pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Perdarahan mengancam jiwa yang berkaitan dengan fraktur panggul berasal dari tulang yang patah, pleksus vena panggul, pembuluh darah panggul besar, dan / atau cabang-cabang arteri iliaka. Perdarahan pada fraktur panggul disebabkan oleh cedera vena dan bagian yang patah dapat diobati secara efektif dengan fiksasi eksternal dengan mengurangi volume perdarahan dan menstabilkan fraktur.
Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan perawatan krisis telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan hidup.
Pertanyaan utama untuk relevansi medikolegal dari semua kejadian yang membuat trauma pelvis yang berakibat kematian harus memperhatikan cara kematian. Penentuan cara kematian seringkali cukup sulit, karena banyak temuan yang biasanya sugestif pembunuhan. Jadi, adalah penting dalam kasus ini untuk menilai kematian seseorang tidak hanya pada pemeriksaan otopsi tubuh tetapi juga mendapatkan informasi tambahan sebanyak mungkin. Penyelidikan kematian secara menyeluruh harus selalu dilakukan, sejarah sosial dan medis harus dievaluasi, dan hasil toksikologi harus selalu diperhitungkan.



DAFTAR PUSTAKA

1. Hak DJ, Smith WR, Suzuki T, 2009. Management of Hemorrhage in Life- threatening Pelvic Fracture. J Am Acad Orthop Surg, Vol 17, No 7, 447-457.
2. Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The journal of bone and joint surgery.
Available at: http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf
3. Frakes MA, Evans T, 2004. Major Pelvic Fractures. Journal of Critical Care Nurse, 2004;24: 18-30.
4. Clark JC, Milroy CM, 2007. Injuries And Deaths On Pedestrian, in Pathology Of Trauma Chapter II. Available at: http://ccn.aacnjournals.org/content/24/2/18
5. Woong Y, Kim JK, Jeong YY, Seo JJ, Park GJ, Kang HK, 2004. Pelvic Arterial Hemorrhage in patients with pelvic fractures : Detection with Contrast-enhanced CT. The Journal of Radiology, Radiographics.
6. Fiecthl, J, Marx, A,2010. Adult pelvic Trauma. http://www.uptodate.com/contents/adult-pelvic-trauma.
7. Amri, A. 2007. Rangkaian Ilmu kedokteran forensik. Edisi kedua. Penerbit Ramadhan, Medan.
8. De jong,W.2005. Buku ajar ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC, jakarta
9. Kimmerle EH, Baraybar JP. 2008. SKELETAL TRAUMA, Identification of Injuries Resulting from Human Rights Abuse and Armed Conflict. Boca Raton : CRC Press.
10. Grotz MR, Allami MK, Harwood P, et al. Open pelvic fractures: epidemiology, current concepts of management and outcome. Injury 2005; 36:1.
11. L. Fleming Fallon,2002. Gale Encyclopedia of Nursing and Allied Health, http://www.healthline.com/galecontent/autopsy-1.
12. Tsokos M. 2008. FORENSIC PATHOLOGY REVIEWS, Volume 5. Germany : Humana Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengetahui Kode (wilayah,daerah,Area) Kartu Telkomsel

ICD X Bahasa Indonesia