Thalassemia

I. PENDAHULUAN

Thalassemia pertama kali dijelaskan oleh Cooley (1925) yang ditemukan pada orang Amerika keturunan Italia. Penyakit ini ternyata banyak ditemukan di daerah mediterania dan daerah sekitar khatulistiwa. Di Indonesia thalassemia merupakan penyakit terbanyak antara golongan hemolitik dalam penyebab intrakorpuskuler.1
Thalassemia merupakan penyakit darah herediter (keturunan) yang paling sering dan akan merupakan kelainan genetik utama yang timbul setelah penyakit infeksi dan gangguan gizi teratasi di Indonesia. Menyambut paradigma Indonesia Sehat 2010 yang baru dicanangkan, kualitas sumber daya manusia tentu saja merupakan faktor yang utama dan keberadaan thalassemia tentu saja akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat.2
Thalassemia merupakan salah satu kelainan genetik terbanyak di dunia dengan 1.67% penduduk dunia sebagai pasiennya. Sekitar 7% penduduk dunia diduga carrier thalassemia, dan sekitar 300.000 - 400.000 bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Frekuensi gen thalassemia tertinggi di negara-negara tropis, namun dengan tingginya angka migrasi, penyakit ini telah tersebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, thalassemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Data rekam medis rawat jalan pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 hingga Juli 2007 terdapat 1.267 pasien thalassemia dengan penambahan 70-80 pasien baru setiap tahunnya.2



II. DEFINISI
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya secara resesif, menurut Hukum Mendel.1
Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokrom herediter dengan berbagai derajat keparahan. Defek genetik yang mendasari meliputi delesi total atau parsial gen rantai globin dan subsitusi, delesi atau insersi nukleotida.3
Sindrom thalassemia mencerminkan sekelompok gangguan diwariskan yang disebabkan oleh kelainan sintesis rantai polipeptida alfa atau beta hemoglobin manusia.4
Thalassemia adalah kelainan genetika sintesa hemoglobin, dimana terjadi pengurangan produksi dari salah satu atau lebih rantai globin pada hemoglobin.2

III. EPIDEMIOLOGI
Gen thalassemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini merupakan kelainan genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah-daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, Timur Tengah, Sub benua India dan Asia Tenggara. Dari 3% sampai 8% orang Amerika keturunan Itali atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa gen untuk thalassemia β. Di beberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai satu atau lebih gen thalassemia. Daerah geografi dimana thalassemia merupakan prevalen yang sangat paralel dengan daerah dimana Plasmodium Falciparum dulunya merupakan endemik. Resistensi terhadap infeksi malaria yang mematikan pada pembawa gen thalassemia agaknya menggambarkan kekuatan selektif yang kuat yang menolong ketahanan hidupnya pada daerah endemik penyakit ini.3

IV. KLASIFIKASI
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas:1
1. Thalassemia α (gangguan pembentukan rantai α)
2. Thalassemia β (gangguan pembentukan rantai β)
3. Thalassemia β-γ (gangguan pembentukan rantai β dan γ yang letak gennya diduga berdekatan)
4. Thalassemia γ (gangguan pembentukan rantai γ)

Secara klinis thalassemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:1
1. Thalassemia mayor (bentuk homozigot)
2. Thalassemia minor
Biasanya tidak memberikan gejala klinis

Klasifikasi Genetik Thalassemia:5
1. Alpha Thalassemia
a. Delesi pada 1 gen
b. Delesi pada 2 gen
c. Delesi pada 3 gen
d. Delesi pada 4 gen

2. Beta Thalassemia
a. Satu gen Beta thalassemia
b. Dua gen Beta thalassemia

Klasifikasi Klinis Thalassemia:2
1. Alpha thalassemia
a. Silent carrier
b. Alpha thalassemia ringan
c. Hemoglobin H
d. Hidrops Fetalis
2. Beta thalassemia
a. Thalassemia minor (trait thalassemia)
b. Thalassemia intermedia
c. Thalassemia mayor

V. ETIOLOGI
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen ditubuh yang membuat hemoglobin. Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM) yang membawa oksigen. Orang dengan talasemia memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM yang lebih sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu keadaan anemia ringan sampai berat.6
Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin menyebabkan berbagai variasi dari talasemia. Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai berat menerima variasi gen ini dari kedua orang tuannya. Seseorang yang mewarisi gen talasemia dari salah satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa (carriers). Seorang pembawa sering tidak punya tanda keluhan selain dari anemia ringan, tetapi mereka dapat menurunkan varian gen ini kepada anak-anak mereka.2
VI. PATOFISIOLOGI
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritroipoeisis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit . 2
Sedangkan sekunder ialah krena defisiensi asam folat, bertambahnya volume palsma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. 2
Penelitian biomolekuler menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.2
Molekul globin terdiri atas sepasang rantai-a dan sepasang rantai lain yang menentukan jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A (merupakan > 96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai-a dan 2 rantai-b = a2b2), Hb F(< 2% = a2g2) dan HbA2 (< 3% = a2d2). Kelainan produksi dapat terjadi pada ranta-a (a-thalassemia), rantai-b (b-thalassemia), rantai-g (g-thalassemia), rantai-d (d-thalassemia), maupun kombinasi kelainan rantai-d dan rantai-b (bd-thalassemia).7 Pada thalassemia-b, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan kekurangan pembentukan a2b2 (Hb A); kelebihan rantai-a akan berikatan dengan rantai-g yang secara kompensatoir Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoesis).7 Beta Thalassemia Melibatkan dua gen didalam membuat beta globin yang merupakan bagian dari hemoglobin, masing-masing satu dari setiap orangtua. Beta thalassemia terjadi ketika satu atau kedua gen mengalmi variasi. 2 o Jika salah satu gen dipengaruhi, seseorang akan menjadi carrier dan menderita anemia ringan. Kondisi ini disebut thallasemia trait/beta thalassemia minor, o Jika kedua gen dipengaruhi, seseorang akan menderita anemia sedang (thalassemia beta intermedia atau anemia Cooley’s yang ringan) atau anemia yang berat ( beta thalassemia utama, atau anemia Cooley’s). o Anemia Cooley’s, atau beta thalassemia mayor jarang terjadi. Suatu survei tahun 1993 ditemukan 518 pasien anemia Cooley’s di Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka mempunyai bentuk berat dari penyakit, tetapi mungkin kebanyakan dari mereka tidak terdiagnosis . Jika dua orangn tua dengan beta thalassemia trait (carriers) mempunyai seorang bayi, salah satu dari tiga hal dapat terjadi: 2 o Bayi bisa menerima dua gen normal ( satu dari masing-masing orangtua) dan mempunyai darah normal ( 25 %). o Bayi bisa menerima satu gen normal dan satu varian gen dari orangtua yang thalassemia trait ( 50 persen). o Bayi bisa menerima dua gen thalassemia ( satu dari masing-masing orangtua) dan menderita penyakit bentuk sedang sampai berat (25 persen). Gbr.Inheritance of hemoglobin genes from parents with thalassemia trait Kelebihan rantai œ mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prekurso, eritrosit yang hebat intra medular. Kemungkinan melalui proses pembelahannya atau proses atau proses oksidasi pada membrane sel precursor. Eritrosit yang mencapai drah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan dilien dan oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan pengelompokan besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada talasemia beta disebabkan oleh berkurangnya besi dan pemendekan eritrosit. 5 Sebagian kecil precursor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat rantai gamma, menghasilkan HbF ekstra uterine. Pada thalasemia beta sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai alpha lebih kecil karena sebagian bergabung membentuk HbF. Sehingga HbF mengikat pada talasemia beta. Seleksi seluler ini erjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Beberapa factor genetic mempengaruhi respon pembentukan HbF ini. Kombinasi factor-factor ini mengakibatkan peningkatan HbF pada thalasemia beta. Produksi rantai teta tidak terpengaruh pada thalasemia beta, sehingga HbA2 meningkat pada heterozygot.5 Kombinasi anemia pada thalasemia beta dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan tulang, peningkatan absorbsi besi, metabolisme rate yang tinggi dan gambaran klinis thalasemia beta mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa. Juga diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leokosit dan trombosit didalam limpa, sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme.5 Alpha Thalassemia Empat gen dilibatkan di dalam membuat globin alfa yang merupakan bagian dari hemoglobin, Dua dari masing-masing orangtua.Thalassemia alfa terjadi dimana satu atau lebih varian gen ini hilang.2 Dengan adanya HbH dan Bart’s, patologi seluler thalasemia alpha berbeda dengan thalasemia beta. Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoetis yang kurang efektif. Tetramer HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena Hbh dan bart’s adalah homotetramet, yang tidak mengalami perubahan allosterik yang diperlukan untuk transfer oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bias melepas tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Bart’s sebanding dengan beratnya hipoksia.5 Patofisiologi thalasemia alpha sebanding dengan jumlah gen yang terkena . pada homozygote tidak ada rantai alpha yang diproduksi. Pasiennya memiliki Hb bart’s yang tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya cukup, karena hampir semua merupan hb Bart’s, fetus tersebut sangat hipoksik. Sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia intra uteri.5 VII. MANIFESTASI KLINIS Alpha Thalassemia Alpha Thalassemia secara klinis dibagi atas empat manifestasi yang berhubungan dengan jumlah gen yang mengalami defek.1,3,5 1. Silent carrier, adalah Thalassemia dengan delesi pada satu gen alpha. Gambaran hematologi normal dan kadang-kadang hanya mikrositosis ringan. 2. Alpha Thalassemia ringan. Penderita kehilangan dua gen alpha. Gambaran klinis : biasanya asimtomatik eritrosit mikrositik ringan anemia ringan pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts dapatditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak lagi terlihat, dan kadar Hb A2 dan Hb F sacara khas normal. 3. Hemoglobin H. Penderita kehilangan tiga gen alpha. Gambaran klinis : anemia eritrosit mikrositik, anisositosis, dan poikilositosis, retikulositosis splenomegali 4. Hydrops fetalis. Penderita kehilangan empat gen alpha. Gambaran klinis berupa anemia berat dan komplikasi sebelum lahir (in utero). Gambaran darah tepi memperlihatkan hipokrom dengan tanda-tanda anisositosis, poikilositosis, banyak normoblas dan retikulositosis. Thalassemia beta Bentuk ini lebih heterogen lagi dibandingkan dengan thalasemia alpa tetapi, untuk kepentingan klinis umumnya dibedakan antara beta0 thalasemia dan beta + thalasemia. Pada beta 0 thalasemia tidak dibentuk rantai globin sama sekali, sedangkan pada beta + thalasemia terdapat pengurangan 10 – 50 5 dari pada produksi rantai globin beta tersebut. Bentuk homozygot dari beta 0 thalasemia atau campuran antara beta 0 dengan beta + thalasemia yang berat akan menimbulkan gejala klinis yang berat yang memerlukan trnsfusi darah sejak permulaan kehidupannya. Tetapi kadang-kadang bentuk campuran ini memberi gejala klinis ringan dan disebut thalasemia intermedit. 1 Bentuk homozygot beta0 / beta + thalasemia memberikan bentuk klinis thalasemia mayor dengan gejala klinis yang khas seperti anemia berat, gangguan pertumbuhan, anoreksia, wajah thalasemia, hepar dan limpa membesar. Pada keadaan lebih lanjut dapat terlihat kelainan tulang, fraktur, dan warna kulit yang kelabu akibat penimbunan besi. Anak dengan kelainan ini biasanya meninggal pada umur muda sebelum dewasa akibat gagal jantung dan infeksi. Dalam hapusan darah tepi tampak hipokromia anisositosis, poikilositosis, dan banyak sel normoblast. Retikulosis juga tampak meninggi. Sum-sum tulang menunjukan hiperaktif sistem eritropoetik. 1 Individu dengan thalasemia minor atau trait sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama waktu yang panjang. Lebih dari 90 % individu dengan trait thalasemia beta mempunyai peningkatan diagnosis Hb A2 yang berarti ( 3,4 – 7 % ). Kira-kira 50 % dari individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF sekitar 2 – 6 %.3 Anemia berat tipe mikrositik dengan limpa dan hepar yang membesar. Pada anak yang besar biasanya disertai keadaan gizi yang jelek dan mukanya memperlihatkan fasies mongoloid. Jumlah retikulosit dalam darah meningkat. Pada hapusan darah tepi akan didapatkan gambaran anisositosis, hipokromi, poikilositosis, sel target (fragmentosit dan banyak sel normoblas). Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dapat mencapai nol.1 Hemoglobin penderita mengandung kadar Hb F yang tinggi biasanya lebih dari 30%. Kadang-kadang ditemukan pula hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% penderita Thalassemia juga mempunyai Hb E. Penderita penyakit Thalassemia Hb E maupun Thalassemia Hb S umumnya secara klinis lebih ringan dari pada Thalassemia mayor1. Umumnya mereka baru datang ke dokter pada umur 4-6 tahun, sedangkan Thalassemia mayor gejalanya sudah tampak pada umur 3 bulan. Penderita Thalassemia Hb E biasanya dapat hidup hingga dewasa.1 Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar kadang-kadang terlihat brush apperrance. Sering pula ditemukan gangguan pneumatisasi rongga sinus paranasalis.
    Thalassemia β0 homozigot biasanya menjadi bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kehidupan. Transfusi darah reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa transfusi harapan hidup tak lebih dari beberapa tahun. Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang menerima transfusi darah pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoietik di sumsum tulang maupun diluar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di muka dan tengkorak menghasilkan wajah yang khas. Pucat, hemosiderosis dan ikterus bersama-sama memberi kesan coklat-kuning. Limpa dan hati membesar karena hematopoiesis ekstramedular dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua limpa mungkin demikian besarnya hingga menyebabkan ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme sekunder. Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes melitus yang disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin juga terjadi. Komplikasi jantung, termasuk aritmia yang membandel dan gagal jantung kongesti kronis yang disebabkan oleh siderosis miokardium, sering merupakan kejadian terminal. Dengan regimen modern dalam penanganan komprehensif untuk penderita ini, banyak dari komplikasi ini dapat dicegah dan yang lainnya diperbaiki dan ditunda awitannya.3
Kelainan morfologi eritrosit pada penderita Thalassemia β0 homozigot yang ditransfusi darah adalah ekstrim. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan presipitasi dari kelebihan rantai alpha, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dL kecuali jika transfusi diberikan. Kadar biliribin serum tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat-besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap, terutama pasca splenektomi.

VIII. DIAGNOSA
Dasar diagnosis:2
Thalassemia minor : biasanya tanpa gejala klinis
Thalassemia mayor :
- Pucat
- Gangguan pertumbuhan
- Facies-Cool ey pada anak lebih besar


- Riwayat keluarga positif
- Hepatosplenomegali
- Anemia berat
Pemeriksaan penunjang :
- Darah tepi : anemia, retikulosit meninggi, gambaran darah tepi anisositosis, poikilositosis, hipokrom, sel target, normoblast.
- Fungsi sumsum tulang hiperaktif eritropoeisis
- Hb elektroforesis
- Pemeriksaan radiologik tulang
- Kadar besi serum (SI) meninggi dan TIBC menjadi rendah.8


IX. DIAGNOSA BANDING9
1. Anemia Defisiensi Besi
2. Anemia akibat penyakit kronik
3. Anemia sideroblastik
Anemia defisiensi besi Anemia akibat penyakit kronik Trait Talasemia Anemia ssideroblastik
Derajat anemia Ringan sampai berat Ringan Ringan Ringan
MCV Menurun Menurun / N menurun Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Normal / ↗ Normal /↗ T I B C Meningkat >360 Menurun < 300 Normal /↙ Normal /↙ Saturasi transferin Menurun <15% Menurun / N 10-20 % Meningkat gt;20% Meningkat >20%
Besi sum-sum tulang Negatif Positif Positif kuat Positif dengan ring sideroblast
Protoporfirin eritrosit Meningkat Meningkat Normal Normal
Feritin Serum Menurun < 20µg/l Normal 20-200µg/l µµµ Meningkat > 50 µg/l Meningkat > 50 µg/l
Elektrofoesis Hb Normal Normal Hb A2 meningkat Normal


X. PENATALAKSANAAN
I. Medikamentosa10
• Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
• Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
• Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
• Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
II. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
• limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
• hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
III. Suportif
Transfusi darah : Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tualang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
XI. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hematokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang ringan. Kadang-kadang Thalassemia disertai dengan tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombositopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.1

XII. PEMANTAUAN11
I. Terapi
• Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.
• Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.
II. Tumbuh Kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita.
III. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes melitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Vol 1. Jakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, : h. 444-51
2. http://www.depkes.go.id/thalassemia, 12 april 2009
3. Behrman, Richard E, Robert M Kliegman, Ann M. Arvin (editor), 2000, Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Vol 2, Wahab AS (penyunting), Jakarta, EGC,: h. 1692,1703-12
4. Schwartz, William M et all,1996, Pedoman Klinis Pediatri, Brahm U. Pendit (editor), Jakarta, EGC, : h. 381-2
5. Bambang Permono, IDG Ugrasena. Mia Ratwita A., 2006, Thalasemia, Buku ajar hematology onkologi anak, Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, : h 65-84.
6. www.wordpress.com,thalasemia, 12 april 2009.
7. http://www.fkuis.go.id/koaskamar13/thalassemia, 12 april 2009
8. www.blogdokter.net/2007/03/25/thalassemia/ - 69k,12 april 2009
9. sudoyo,aru.w et all, 2006, buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, Jakarta, FKUI, h 634 – 640
10. ikatan dokter anak Indonesia, 2004, talasemia beta, standar pelayanan medis kesehatan anak, Jakarta. hal 82-84.
11. Universitas Indonesia, Thalassemia, www.ika_fkui.com ,12 april 2009

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengetahui Kode (wilayah,daerah,Area) Kartu Telkomsel

ICD X Bahasa Indonesia